PENDAHULUAN
Kitab suci
al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, Bukan saja dalam pengembangan
ilmu-ilmu keislaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemadu gerakan-gerakan
umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini. Apabila
dilihat dari segi asal-usul datangnya al-Qur’an ( Asbabun Nuzul) diyakini secara
mutawatir bahwa al-Qur’an itu benar-benar berasal dari Allah. Tak
ada satu ayatpun yang diragukan bukan berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri yang akan menjaga keotentikan
al-Qur’an itu sepanjang zaman. Informasi ini dapat dijumpai dalam QS. Al-Hijr,
ayat: 9; yang berbunyi :
Artinya : “ Sesungguhnya Kami telah
menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”.
Berdasarkan informasi ayat tersebut di atas memberi ketegasan bahwa
terhadap al-Qur’an, hendaklah tak perlu lagi diragukan atau dipersoalkan
apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan. Walaupun
demikian tak ada larangan untuk memahami isi dan kandungan yang ada dalam
al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan penafsiran. Hal itu disebabkan karena al-Qur’an tidak banyak memuat segala
persoalan atau problematika secara terperinci (detail) tetapi lebih banyak
ketetapan-ketetapan hukum yang ada di dalamnya masih bersifat global dan umum.
Mohammad Arkoun (salah
seorang pemikir Aljazair kontemporer)
berkomentar dalam sebuah tulisannya : “Al-qur’an itu memberi kemungkinan-kemungkinan
arti yang tak terbatas. Dimana kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai
pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud, adalah mutlak. Dengan demikian
ayat-ayat al-qur’an itu selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah
pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Jika demikian
halnya maka adanya penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai
macam pendekatan tafsir mempunyai peran yang sangat besar. Dan sesungguhnya
persoalan tafsir – menafsirkan al-Qur’an bila dilihat dari segi usia merupakan
kegiatan yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya
dalam Islam. Hal itu dapat ditelusuri sejarah awal penafsiran al-Qur’an ternyata
sudah ada sejak masa Nabi SAW.
Dimana Nabi SAW
sendiri adalah orang yang paling berkompeten untuk memberikan penjelasan dan
penafsiran.
Dengan kata lain Nabi SAW
adalah sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan) khususnya terhadap ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau
yang mungkin sama artinya. Baru setelah Nabi
SAW wafat, para sahabat dan generasi tabi’ien
mulai melakukan ijtihad dalam menghadapi ayat-ayat yang tidah mudah
dipahami. Kemudian dalam rangka menghadapi perkembangan zaman
banyak para mufassir yang berusaha dalam memahami isi dan kandungan
al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan-pendekatan seperti menggunakan metode tafsir
yang bercorak ma’tsur (bercoran riwayat) dan yang
bercorak ra’yu (pemikiran). Dari gambaran singkat tentang
perkembangan tafsir sebagaimana telah
diuraikan di atas, dapat dirumuskan adanya suatu
hal penting, diantaranya ialah : Sejauh mana peran dan fungsi hadis / sunnah
Nabi SAW sebagai bayan (penjelas)
terhadap model tafsir al-Qur’an .
1
HADIST SEBAGAI BAYAN TERHADAP
MODEL TAFSIR AL-QUR’AN
Penjelasan Istilah
Pengertian
Hadist.
Pengertian hadist dapat dilihat melalui
dua pendekatan, baik secara linguistik (kebahasaan) maupun secara
terminologis (istilah). Hadis secara linguistik
berasal dari bahasa Arab, hadasa – yahdusu – hadasan – hadisan dengan
pengertian yang bermacam-macam
seperti bermakna: al-Jadid (yang baru) lawan dari al-Qadim (yang
lama), al-Qarib (yang dekat, yang belum lama terjadi), bisa
juga berarti al-Khabar (kabar atau berita).Hadis dalam arti khabar ini,
banyak dijumpai pemakaiannya dalam al-Qur’an. Salah satu diantaranya, terdapat
dalam Qs. Al-Thur, ayat : 34, seperti:
Artinya :
Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan al-Qur’an
itu, jika mereka mengaku orang-orang yang benar”.
Dalam pengertian istilah (terminologi)
hadist secara sempit, bermakna :
“ Suatu
yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan
(taqrir) dan yang lainnya.”
Adapun
hadis dalam pengertian yang lebih luas
ialah suatu sunnah, khabar dan atsar yakni segala sesuatu
yang dicontohkan oleh Rasululah SAW dari para sahabat atau
dari tabi’in, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan lainnya.
Dalam pengertian ini hadist
yang disandarkan kepada Rasululah
SAW biasa disebut marfu’, sedangkan yang disandarkan
kepada sahabat disebut mauquf , serta
yang disandarkan kepada tabi’in biasa disebut maqthu’.
Pengertian
Model Tafsir
Kata “model” yang terdapat pada judul di atas memiliki arti :
contoh, acuan, ragam atau macam. Sedangkan kata “tafsir” yang
berasal dari bahasa Arab : fassara – yufassiru – tafsiran,
berarti : penjelasan, pemahaman, dan perincian Tafsir juga berarti al-idlah
wa al – tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan
bahwa kata tafsir itu sejajar dengan timbangan (wazan) kata “taf’il” yang
diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap serta
dapat pula berarti al-tafsarah yakni suatu alat yang biasa digunakan
oleh dokter untuk mengetahui suatu penyakit.
Sementara Imam al-Zarqany mendefinisikan tafsir ialah ilmu yang
membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai
dengan yang dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia. Perlu
ditambahkan di sini terkait adanya istilah lain yang hampir sama dengan
pengertian tafsir yakni kata “ta’wil”. Menurut
bahasa, kata “ta’wil” diambil
dari kata “aul” yang berarti kembali atau berpaling. Dilafadhkan dengan
shigat “ta’wil” , dimaksudkan untuk memfaedahkan ta’diyah (supaya
berarti mengembalikan).
Ada
pula yang mengatakan bahwa kata “ta’wil” itu diambil dari kata “ail”
yang berarti memalingkan. Yakni memalingkan ayat dari makna dhahir kepada
sesuatu makna yang dapat diterima olehnya lantaran ada dalil yang
menghendakinya. Suatu contoh tentang “ta’wil” , dalam memahami makna
ayat :
Artinya : “ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati “. ( Qs. Al-An’am: ayat, 95
).
Dalam pengertian
tafsir, yang dikehendaki oleh ayat tersebut adalah “mengeluarkan burung dari
telurnya”. Sedangkan jika dikatakan
bahwa yang dikehendaki ayat tersebut adalah mengeluarkan yang ‘alim dari yang
bodoh atau yang beriman dari yang kafir’.
Maka yang demikian itu dinamakan “ta’wil”. Untuk lebih jelasnya mengenai definisi ta’wil ini dapat dilihat
dari pendapat dari
As Said al-Jurjany sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi
Ash-Shiddieqiy sebagai berikut :
“ ta’wil ialah memalingkan lafadz dari
makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil (makna yang dapat diterima),
apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”.
Hadis Sebagai Bayan
Terhadap Model Tafsir al-Qur’an
Telah
diketahui bahwa makna dan kandungan al-Qur’an kebanyakan adalah masih bersifat ‘am
(umum) dan mujmal (global). Hal
itu tentu saja menghajatkan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dan detail
. Rasululah SAW telah diberikan tugas dan otoritas (wewenang
penuh) untuk menjelaskan terhadap makna al-Qur’an. Hal
itu sebagaimana dijelaskan Allah SWT
dalam al-Qur’an surat : An-Nahl
ayat : 44 yang berbunyi
:
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu agar
engkau menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan
mudah-mudahan mereka pada memikirkan.”
Ayat ini
merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan makna al-Qur’an,
sekaligus merupakan fasilitas legal dari Allah, atas kewajiban umat Islam untuk
mentaati dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululah SAW. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas,
Musthafa as-Sibaiy secara garis besar menjelaskan bahwa terdapat tiga fungsi
Rasululah SAW
dalam arti Hadis / Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an. Di
antarnya :
1.
Sebagai memperkuat
hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail.
2.
Menjelaskan hukum-hukum
yang terkandung dalam al-Qur’an , yakni mentaqyidkan (mempersyaratkan)
yang mutlak, mentafshilkan yang mujmal dan mentakhsiskan
(penentuan yang khusus) atas yang masih ‘am. Menetapkan hukum yang tidak
disebutkan oleh al-Qur’an.
Beberapa contoh mengenai fungsi
hadis / sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Musthafa as- Siba’iy seperti yang dikutip oleh Fatchur Rahman,
menjelaskan :
- Sebagai
penetapan untuk memperkuat hukum , seperti dalam al-Qur’an tentang berkata
dusta, dalam firman
Allah surat Al Hajj ayat 30-31
yang artinya :
"Maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak menyekutukan sesuatu dengan Dia."
(Al-Hajj: 30-31).
Kemudian Nabi Saw. dengan hadisnya menguatkannya ,
sebagaimana sabdanya:
Artinya : “
Perhatikanlah ! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian tentang sebesar
– besarnya dosa. Sahut kami : Baiklah yaa Rasulullah , beliau meneruskan sabdanya
; musyrik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang
bersandar, tiba-tiba duduk , seraya bersabda lagi ; Awas ! berkata (bersaksi)
palsu.
- Menjelaskan hukum al-Qur’an yang masih mujmal,
misalnya: Nash al-Qur’an, mengharamkan bangkai dan darah secara global dan
mutlak, seperti firman Allah QS. Al-Maidah : 3; mengatakan :
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan ) bangkai”.......
Kemudian al-Sunnah mentaqyidkan
(memberi persyaratan) kemutlakannya, dan mentaksiskan (memberi
ketentuan khusus) atas keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai dan
darah. Sebagaimana
Sabda Nabi Saw. menjelaskan : “ Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan
dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu, ialah bangkai ikan dan bangkai
belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa”. ( HR. Ibn Majah dan
al-Hakim ).
- Sebagai dasar untuk menetapkan hukum yang tidak
didapati dalam al-Qur’an, seperti larangan mengawini seorang wanita
yang sepersusuan, karena dianggap muhrim (senasab) , misalnya sabda Rasulullah SAW :
“ Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang
karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena
senasab”. (HR. Bukhari-Muslim).
Kemudian berdasarkan pendapat para ulama’, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail, menjelaskan
fungsi al-Hadist atau al-Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an
secara garis besar meliputi hal sebagai berikut :
Sebagai Bayan Taqrir
Yaitu, sebagai penjelas untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam
al-Qur’an , sebagai misal sabda Nabi Saw. mengatakan:
“ Berpuasalah
kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah ) kamu sesudah
melihat bulan”. ( HR. Bukhari – Muslim , dari Abu Hurairah ).
Hadis ini adalah meruipakan penguat atau pengokoh
terhadap ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya: “ ( Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu,
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil), karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu….”.
Sebagai Bayan Tafsir
Yang dimaksud, ialah sebagai penjelas atau penerang terhadap ayat-ayat yang
masih mujmal (global) dan yang musytarak (satu lafadz
mengandung beberapa makna). Misalnya hadis Rasulullah
SAW mengatakan:
“ Bershalatlah kamu, sebagimana kamu melihat aku shalat”. (HR.
Bukhari-Muslim …).
Hadis ini,
merupakan penjelas terhadap firman Allah SWT yang bersifat global yang memerintahkan orang-orang
mukmin untuk mendirikan shalat. Juga hadist Nabi Saw yang
berbunyi :
Artinya: “ Thalaq budak itu dua kali , dan iddahnya dua kali haid”.
(HR. Abu Dawud-Turmuzi-Ibn Majah dari ‘Aisyah ) .
Hadis tersebut
merupakan penjelas terhadap ayat al-Qur’an yang mengendung kata-kata musytarak,
seperti kata “ quru’” dalam ayat yang berbunyi :
Artinya: “ Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’…”.
Kata “quru” dalam ayat tersebut , bisa berarti haid
dan bisa juga berarti suci.
Sebagai Bayan Tabdil atau Bayan Nasakh
Yang
dimaksud, ialah sebagai pengganti atau menasakh (menghapus) suatu hukum
yang ada dalam al-Qur’an. Sebagaimana hadis Nabi Saw., menunjukkan, yang
berbunyi :
Artinya
:“ Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris , maka
dengan ketentuan itu tak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.
Hadis ini, merupakan
pengganti (nasakh) terhadap hukum wasiat , sebagaimana yang dikemukakan
oleh firman Allah Swt., yang berbunyi :
Artinya
: “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu, bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (adil dan baik), ( hal ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.
(Fungsi ini (yang tercetak merah) secara logika
diragukan. Karena berdasarkan keyataan Al-qur’an yang nyata-nyata datang dari
Allah dan tidak diragukan lagi kebenaranya mengapa harus diganti atau dihapus
selain itu kedudukan Al-qur’an lebih tinggi dari pada hadist)
Dari beberapa pendapat sebagaimana
tersebut di atas, ulama di kalangan ahil
al-Hadist maupun di kalangan ahl
al-Fiqh juga sependapat, seperti diantaranya :
Imam Malik, berpendapat bahwa
fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an, setidaknya meliputi :
(a)
Sebagai bayan taqrir (lihat
keterangan sebelumnya).
(b)
Sebagai bayan taudlih (tafsir)
(lihat keterangan di atas).
(c)
Sebagai bayan tafshiel, yakni
memerinci kandungan ayat- ayat yang mujmal.
(d) Sebagai bayan tabsith
(bayan ta’wil), yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang
diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an, dan juga.
(e) sebagai bayan tasyri’,
yaitu mengadakan suatu hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Imam Syafi’i,
menambahkan bahwa, fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an itu
meliputi :
(a) Sebagai bayan tafshiel
(lihat keterangan sebelumnya).
(b) Sebagai bayan takhsish ,
yakni menjelaskan tentang kekhusussan suatu ayat yang umum, seperti hadis Nabi
Saw., menyatakan :
“ Seorang Muslim tidak boleh mewarisi
dari orang kafir, begitupun sebaliknya, orang kafir dari orang meslim”. ( HR.
Imam Bukhari dan Muslim ). Hadis ini merupakan
bentuk takhsish atas ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya : “ Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan …”. ( QS.
An-Nisa’ , ayat : 11).
(c) Sebagai bayan ta’yin, yakni
menjelaskan atau menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara
yang mungkin dimaksudkan. Misalnya tentang pengertian “quru”
(lihat pada keterangan di atas). (d) Sebagai bayan tasyri’(lihat
keterangan sebelumnya). (e) Sebagai bayan nasakh (lihat keterangan
terdahulu), dan (f) sebagai bayan isyarah, yakni sebagai qiyas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar