--> /* Image Slideshow */ #s3slider{margin-bottom:5px; width:100%; /* important to be same as image width */height:250px; /* important to be same as image height */position:relative; /* important */word-wrap:break-word; /* fix for long text breaking sidebar float in IE */overflow:hidden; /* fix for long non-text content breaking IE sidebar float */} #s3sliderContent{width:100%; /* important to be same as image width or wider */position:absolute; /* important */top:0; /* important */margin:0px; padding-left:0px; /* important */} .s3sliderImage{float:left; /* important */position:relative; /* important */display:none; /* important */} .s3sliderImage span{position:absolute; /* important */left:0; font:normal 11px 'Arial',Helvetica,sans-serif; padding:10px; width:100%; text-align:center; padding-left:0px; background-color:#000; filter:alpha(opacity=70); /* here you can set the opacity of box with text */-moz-opacity:0.7; /* here you can set the opacity of box with text */-khtml-opacity:0.7; /* here you can set the opacity of box with text */opacity:0.7; /* here you can set the opacity of box with text */color:#fff; display:none; /* important */top:0; /*if you puttop:0; ->the box with text will be shown at the top of the imageif you putbottom:0; ->the box with text will be shown at the bottom of the image*/}

Selasa, 09 Oktober 2012

HADIST SEBAGAI BAYAN TERHADAP MODEL TAFSIR AL-QUR’AN


PENDAHULUAN


Kitab suci al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, Bukan saja dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini. Apabila dilihat dari segi asal-usul datangnya al-Qur’an ( Asbabun Nuzul) diyakini secara mutawatir bahwa al-Qur’an itu benar-benar berasal  dari Allah. Tak ada satu ayatpun yang diragukan bukan berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri yang akan menjaga keotentikan al-Qur’an itu sepanjang zaman. Informasi ini dapat dijumpai dalam QS. Al-Hijr, ayat: 9; yang berbunyi :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s015/a009.png
Artinya : “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”.

Berdasarkan informasi ayat tersebut di atas memberi ketegasan bahwa terhadap al-Qur’an, hendaklah tak perlu lagi diragukan atau dipersoalkan apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan. Walaupun demikian tak ada larangan untuk memahami isi dan kandungan yang ada dalam al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan penafsiran. Hal itu disebabkan  karena al-Qur’an tidak banyak memuat segala persoalan atau problematika secara terperinci (detail) tetapi lebih banyak ketetapan-ketetapan hukum yang ada di dalamnya masih bersifat global dan umum. Mohammad Arkoun (salah seorang pemikir Aljazair kontemporer) berkomentar dalam sebuah tulisannya : “Al-qur’an itu memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Dimana kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud, adalah mutlak. Dengan demikian ayat-ayat al-qur’an itu selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Jika demikian halnya maka adanya penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan tafsir mempunyai peran yang sangat besar. Dan sesungguhnya persoalan tafsir – menafsirkan al-Qur’an bila dilihat dari segi usia merupakan kegiatan yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya dalam Islam. Hal itu dapat ditelusuri sejarah awal penafsiran al-Qur’an ternyata sudah ada sejak masa Nabi SAW. Dimana Nabi SAW sendiri adalah orang yang paling berkompeten untuk memberikan penjelasan dan penafsiran. Dengan kata lain Nabi SAW adalah  sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) khususnya terhadap ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau  yang mungkin sama artinya. Baru setelah Nabi SAW wafat, para sahabat dan generasi tabi’ien mulai melakukan ijtihad dalam menghadapi ayat-ayat yang tidah mudah dipahami.  Kemudian dalam rangka menghadapi perkembangan zaman banyak  para mufassir yang berusaha dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an  melalui berbagai macam pendekatan-pendekatan seperti menggunakan metode tafsir yang bercorak  ma’tsur (bercoran riwayat)  dan yang bercorak  ra’yu (pemikiran). Dari gambaran singkat tentang perkembangan tafsir sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan adanya suatu hal penting, diantaranya ialah : Sejauh mana peran dan fungsi hadis / sunnah Nabi SAW sebagai bayan (penjelas) terhadap model tafsir al-Qur’an .
                                                                                                                                                      1
HADIST SEBAGAI BAYAN TERHADAP MODEL TAFSIR AL-QUR’AN

Penjelasan Istilah
Pengertian Hadist.
Pengertian hadist dapat dilihat melalui dua pendekatan, baik secara linguistik (kebahasaan) maupun secara terminologis (istilah).  Hadis secara linguistik berasal dari bahasa Arab, hadasa – yahdusu – hadasan – hadisan dengan pengertian yang bermacam-macam seperti bermakna: al-Jadid (yang baru) lawan dari al-Qadim (yang lama),  al-Qarib (yang dekat, yang belum lama terjadi), bisa juga berarti al-Khabar (kabar atau berita).Hadis dalam arti khabar ini, banyak dijumpai pemakaiannya dalam al-Qur’an. Salah satu diantaranya, terdapat dalam Qs. Al-Thur, ayat : 34,  seperti:
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s052/a034.png
Artinya : Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan al-Qur’an itu, jika mereka mengaku orang-orang yang benar”.

Dalam pengertian istilah (terminologi)  hadist secara sempit, bermakna :
 Suatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang lainnya.”
Adapun hadis dalam pengertian yang lebih luas ialah suatu sunnah, khabar dan atsar yakni segala sesuatu yang dicontohkan oleh Rasululah SAW dari para sahabat atau dari tabi’in, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan lainnya. Dalam pengertian ini hadist yang disandarkan kepada Rasululah SAW biasa disebut marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut mauquf , serta yang disandarkan kepada tabi’in biasa disebut maqthu’.

Pengertian Model Tafsir
Kata “model” yang terdapat pada judul di atas memiliki arti : contoh, acuan, ragam atau macam. Sedangkan kata  “tafsir” yang berasal dari bahasa Arab : fassarayufassiru – tafsiran, berarti : penjelasan, pemahaman, dan perincian Tafsir juga berarti al-idlah wa al – tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir itu sejajar dengan timbangan (wazan) kata “taf’il” yang diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf  yang berarti membuka atau menyingkap serta dapat pula berarti al-tafsarah yakni suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui suatu penyakit.
Sementara Imam al-Zarqany mendefinisikan tafsir ialah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dengan yang dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia. Perlu ditambahkan di sini terkait adanya istilah lain yang hampir sama dengan pengertian tafsir yakni kata “ta’wil”. Menurut bahasa, kata “ta’wil”  diambil dari kata “aul” yang berarti kembali atau berpaling. Dilafadhkan  dengan shigat “ta’wil” , dimaksudkan untuk memfaedahkan ta’diyah (supaya berarti mengembalikan).
Ada pula yang mengatakan bahwa kata “ta’wil” itu diambil dari kata “ail” yang berarti memalingkan. Yakni memalingkan ayat dari makna dhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya lantaran ada dalil yang menghendakinya. Suatu contoh tentang “ta’wil” , dalam memahami makna ayat :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s006/a095.png
Artinya : “ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati “. ( Qs. Al-An’am: ayat, 95 ).

Dalam pengertian tafsir, yang dikehendaki oleh ayat tersebut  adalah  “mengeluarkan burung dari telurnya”. Sedangkan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki ayat tersebut adalah mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh atau yang beriman dari yang kafir. Maka yang demikian itu dinamakan “ta’wil”. Untuk lebih jelasnya  mengenai definisi ta’wil ini dapat dilihat dari pendapat dari As Said al-Jurjany  sebagaimana  dikutip oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqiy sebagai berikut :
“  ta’wil ialah memalingkan lafadz  dari makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil (makna yang dapat diterima), apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”.

Hadis Sebagai Bayan Terhadap Model Tafsir al-Qur’an

Telah diketahui bahwa makna dan kandungan al-Qur’an kebanyakan adalah masih bersifat ‘am (umum) dan mujmal (global). Hal itu tentu saja menghajatkan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dan detail . Rasululah SAW  telah diberikan tugas dan otoritas (wewenang penuh) untuk menjelaskan terhadap makna al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam al-Qur’an  surat : An-Nahl ayat : 44 yang berbunyi :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s016/a044.png
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan al-Qur’an  kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka pada memikirkan.”
Ayat ini merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan makna al-Qur’an, sekaligus merupakan fasilitas legal dari Allah, atas kewajiban umat Islam untuk mentaati dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululah SAW. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Musthafa as-Sibaiy secara garis besar menjelaskan bahwa terdapat tiga fungsi  Rasululah SAW dalam arti Hadis / Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an. Di antarnya :
1.      Sebagai memperkuat hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail.
2.      Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an , yakni mentaqyidkan (mempersyaratkan) yang mutlak, mentafshilkan yang mujmal dan mentakhsiskan (penentuan yang khusus) atas yang masih ‘am. Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.
Beberapa contoh mengenai fungsi hadis / sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Musthafa as- Siba’iy  seperti yang dikutip oleh Fatchur Rahman, menjelaskan :
  1. Sebagai penetapan untuk memperkuat hukum , seperti dalam al-Qur’an tentang berkata dusta, dalam firman Allah surat Al Hajj ayat 30-31 yang  artinya :
"Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak menyekutukan sesuatu dengan Dia." (Al-Hajj: 30-31). 
Kemudian Nabi Saw. dengan hadisnya menguatkannya , sebagaimana sabdanya:
                  Artinya  : “ Perhatikanlah ! Aku akan  memberitahukan kepadamu sekalian tentang sebesar – besarnya dosa. Sahut kami : Baiklah yaa Rasulullah , beliau meneruskan sabdanya ; musyrik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk , seraya bersabda lagi ; Awas ! berkata (bersaksi) palsu.

  1. Menjelaskan hukum al-Qur’an yang masih mujmal, misalnya: Nash al-Qur’an, mengharamkan bangkai dan darah secara global dan mutlak, seperti firman Allah QS. Al-Maidah : 3; mengatakan :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s005/a003.png
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan ) bangkai”.......
Kemudian al-Sunnah mentaqyidkan (memberi persyaratan) kemutlakannya, dan mentaksiskan (memberi ketentuan khusus) atas keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah. Sebagaimana Sabda Nabi Saw. menjelaskan : “ Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu, ialah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa”. ( HR. Ibn Majah dan al-Hakim ).

  1. Sebagai dasar untuk menetapkan hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an, seperti  larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena dianggap muhrim (senasab) , misalnya sabda Rasulullah SAW :
“ Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (HR. Bukhari-Muslim).
Kemudian berdasarkan pendapat para ulama, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail, menjelaskan fungsi al-Hadist atau al-Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an secara garis besar meliputi hal sebagai berikut :

Sebagai Bayan Taqrir
Yaitu, sebagai penjelas untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an , sebagai misal sabda Nabi Saw. mengatakan:
Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah ) kamu sesudah melihat bulan”. ( HR. Bukhari – Muslim , dari Abu Hurairah ).
Hadis ini  adalah meruipakan penguat atau pengokoh terhadap ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya: “ ( Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan  mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil), karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….”.
Sebagai Bayan Tafsir
Yang dimaksud, ialah sebagai penjelas atau penerang terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global) dan yang  musytarak (satu lafadz mengandung beberapa makna). Misalnya hadis Rasulullah SAW mengatakan:
“ Bershalatlah kamu, sebagimana kamu melihat aku shalat”. (HR. Bukhari-Muslim …).
Hadis ini, merupakan penjelas terhadap firman Allah SWT yang bersifat global yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendirikan shalat. Juga hadist  Nabi Saw yang berbunyi :
Artinya: “ Thalaq budak itu dua kali , dan iddahnya dua kali haid”. (HR. Abu Dawud-Turmuzi-Ibn Majah dari ‘Aisyah ) .
Hadis tersebut merupakan penjelas terhadap ayat al-Qur’an yang mengendung kata-kata musytarak, seperti kata “ quru’” dalam ayat yang berbunyi :
Artinya: “ Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…”.
Kata “quru” dalam ayat tersebut , bisa berarti haid dan bisa juga berarti suci.
Sebagai Bayan Tabdil atau Bayan Nasakh
Yang dimaksud, ialah sebagai pengganti atau menasakh (menghapus) suatu hukum yang ada dalam al-Qur’an. Sebagaimana hadis Nabi Saw., menunjukkan, yang berbunyi :
Artinya :“ Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris , maka dengan ketentuan itu tak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.
Hadis ini, merupakan pengganti (nasakh)  terhadap hukum wasiat , sebagaimana yang dikemukakan oleh firman Allah Swt., yang berbunyi :
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (adil dan baik), ( hal ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.
(Fungsi ini (yang tercetak merah) secara logika diragukan. Karena berdasarkan keyataan Al-qur’an yang nyata-nyata datang dari Allah dan tidak diragukan lagi kebenaranya mengapa harus diganti atau dihapus selain itu kedudukan Al-qur’an lebih tinggi dari pada hadist)
Dari beberapa pendapat sebagaimana tersebut di atas, ulama di kalangan ahil al-Hadist maupun di kalangan ahl al-Fiqh juga sependapat, seperti diantaranya :
Imam Malik, berpendapat bahwa fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an, setidaknya meliputi :
(a) Sebagai bayan taqrir (lihat keterangan sebelumnya).
(b) Sebagai bayan taudlih (tafsir) (lihat keterangan di atas).
(c) Sebagai bayan tafshiel, yakni memerinci kandungan ayat- ayat yang mujmal.
(d) Sebagai bayan tabsith (bayan ta’wil), yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an, dan juga.
(e) sebagai bayan tasyri’, yaitu mengadakan suatu hukum yang tidak ditetapkan oleh              Al-Qur’an.

Imam Syafi’i, menambahkan bahwa, fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an itu meliputi :
(a) Sebagai bayan tafshiel (lihat keterangan sebelumnya).
(b) Sebagai bayan takhsish , yakni menjelaskan tentang kekhusussan suatu ayat yang umum, seperti hadis Nabi Saw., menyatakan :
“ Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir, begitupun sebaliknya, orang kafir dari orang meslim”. ( HR. Imam Bukhari dan Muslim ). Hadis ini merupakan bentuk takhsish atas ayat al-Qur’an yang berbunyi :
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a011.png
Artinya : “ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)  anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan …”. ( QS. An-Nisa’ , ayat : 11).
(c) Sebagai bayan ta’yin, yakni menjelaskan atau menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan. Misalnya tentang pengertian “quru”  (lihat pada keterangan di atas). (d) Sebagai bayan tasyri’(lihat keterangan sebelumnya). (e) Sebagai bayan nasakh (lihat keterangan terdahulu), dan (f) sebagai bayan isyarah, yakni sebagai qiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamu alaikum.. Selamat datang di blog Aelie Sang Orator.